Di balik setiap helai kain batik, tersimpan jejak sejarah dan cinta terhadap negeri. Sejak masa kemerdekaan Republik Indonesia, batik dan kebaya telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat Nusantara—ready to wear yang sarat makna dan jati diri bangsa.
Hal itu diungkapkan oleh Sri Sulistiowati Subianto, S.Sn., M.Des, yang akrab disapa Ibu Lisna Subianto, dalam program Live Talkshow Inspirasi Damandiri di studio Radio DFM 103.4 FM. Ia adalah dosen Desain Batik dan Sejarah Mode di ESMOD Jakarta, sekaligus pendiri brand Kebaya Jeng Sri yang dikenal karena sentuhan klasik nan elegan.
Menurut Ibu Lisna, sejak era 1980-an, dunia mode Indonesia mulai tersentuh budaya Barat. Gaya berpakaian menjadi lebih modern dan praktis, namun batik tak pernah benar-benar hilang.
“Sejak tahun 2000-an, batik justru menemukan bentuk barunya,” ujarnya sambil tersenyum. “Kombinasi kebaya dengan batik seperti model Kutu Baru yang saya kenakan hari ini, adalah bukti bahwa budaya tradisional bisa berpadu cantik dengan nuansa modern.”
Kini, batik tak lagi dianggap kuno. Ia telah bertransformasi menjadi simbol kebanggaan dan ekspresi diri, terutama di kalangan muda yang mulai jatuh cinta pada busana khas Indonesia ini.
Dalam perbincangan hangat itu, Ibu Lisna membawa beberapa contoh batik koleksi pribadinya. Salah satunya adalah batik lawasan, sebutan untuk kain batik berusia lebih dari 30 tahun.
“Batik ini dibuat sekitar tahun 1960–1970-an,” tuturnya lembut sambil membentangkan kain batik panjang di hadapan penyiar. “Saya membelinya pada awal tahun 2000 dari pedagang batik di pasar. Setiap kain lawasan membawa kisahnya sendiri—tentang tangan pembatik, pewarna alami, hingga nilai-nilai budaya masa lalu.”
Sebagai penggiat batik, Ibu Lisna tak segan berbagi pengetahuan praktis kepada DFM Mania yang ingin belajar mengenali batik asli.
“Batik tulis yang asli biasanya punya tahun pembuatan dan tanda tangan pembuatnya, bahkan nama toko penjualnya,” jelasnya.
Ia juga menambahkan beberapa trik sederhana:
- Kain batik lama biasanya keras dan kuat. Jika nila masih terasa tajam, artinya kain belum pernah dipakai.
- Bila kain terasa lebih lemas dan lembut, itu tanda sudah sering digunakan.
- Untuk membedakan batik tulis dari batik cetak, lihat bagian belakang kain. Motif batik tulis tembus ke dua sisi, sedangkan batik cetak hanya tampak jelas di bagian depan.
Tips ini menjadi panduan berharga bagi siapa pun yang ingin memahami batik lebih dalam, bukan sekadar memakainya, tetapi menghargai seni di balik setiap goresannya.
Bagi Ibu Lisna, membatik bukan hanya kegiatan seni, tetapi juga bentuk pengabdian terhadap budaya bangsa.
“Setiap guratan malam di kain batik adalah doa dan cinta. Ketika kita mengenakannya, seolah kita ikut menjaga warisan leluhur,” ujarnya penuh makna.
Melalui brand Kebaya Jeng Sri, ia berusaha mengembalikan kebanggaan perempuan Indonesia terhadap busana tradisional. Karya-karyanya menunjukkan bahwa batik dan kebaya tak lekang oleh waktu—selalu bisa tampil anggun di era apa pun.
Talkshow Inspirasi Damandiri di DFM Radio kembali membuktikan perannya sebagai media yang menghadirkan kisah penuh makna.
Perbincangan bersama Ibu Lisna bukan hanya mengulas soal mode, tapi juga tentang identitas bangsa dan nilai pelestarian budaya.
Bagi kamu yang ingin mengenal lebih dalam perjalanan batik dan kisah inspiratif di baliknya, tonton kembali acara lengkapnya di kanal YouTube DFM: 103.4 DFM.
Rasakan sendiri bagaimana “Membatik dengan Hati” menjadi panggilan untuk ikut melestarikan budaya negeri.

